Jumat, 19 Juni 2015

GEMBALA JEMAAT YANG MENUNTUN DOMBA DENGAN PENUH KETABAHAN


“GEMBALA JEMAAT YANG MENUNTUN DOMBA DENGAN PENUH KETABAHAN”
PDT. HENDRIK GERSON RUMONDOR  (1906-1987)
H. G. Rumondor juga tanggap membaca situasi yang berkembang dan siap melakukan yang terbaik bagi warga Jemaat yang dibawah asuhannya. Belum dua minggu Jemaat Kayuuwi melepaskan diri dari klasis tentara Jepang mendarat di Minahasa, pada tanggal 11 Januari 1942. Ternyata bahwa Jepang juga mencampuri urusan keagamaan. Ketua Sinode GMIM yang kedua yang menjabat sejak tahun 1941 adalah juga Pendeta Belanda, yakni DS. G.P.H. Locher segera ditahan. Pdt. Albertus Zakarius Runturambi Wenas mengambil alih pimpinan Sinode. Gereja Kristen di Jepang mendatangkan beberapa Pendeta untur mengatur urusan agama Kristen namun mereka juga harus tunduk pada pimpinan tentara. Situasi yang sukar dan sulit mulai melanda masyarakat dan jemaat. Beberapa aturan yang ketat dikenakan kepada orang yang datang beribadah ke Gereja. Di jemaat lain, misalnya di Bahu, Jemaat yang sedang beribadah disuruh keluar dari Gereja dan langsung disuruh berbaris menuju ke tempat kerja paksa. Maka demi ketentraman warga Gereja/Jemaat seluruhnya Pdt. A.Z.R Wenas menghadap ke pimpinan tentara Jepang meminta agar warga jemaat diberi kebebesan melaksanakan ibadah pada hari Minggu. Serta nerta Jemaat Kayuuwi memutuskan untuk tetap sebagai anggota GMIM dan kembali bergabung ke Klasis Sonder. Hal ini diwujudkan pada tanggal 26 Juni 1942.
            Situasi yang sulit sebenarnya sudah terasa sejak tahun 1932, khususnya dibidang keuagan Jemaat. Sudah disebutkan di atas bahwa mulai bulan januari 1932 jemaat member subsidi untuk gaji guru Sekolah Sambungan sebesar f. 15,- per bulan. Tak disangka malaise alias masa melarat (‘maleset, dalam pengertian sekarang krisis ekonomi) melanda seluruh dunia sejak tahun 1932. Perdagangan menjadi lesu, bahan-bahan hasil pertanian dari desa pun merosot harganya. Namun jemaat Kayuuwi dalam pimpinan Guru Jemaatnya tidak mengeluh atau berputus asa. Jemaat tetap pada komitmennya membiayai Sekolah Sambungan, sehingga sekolah itu dapat bertahan. Kepala Sekolah sambungan sejak kepindahan H.G Rumondor ke Sekolah Rakyat secara bergantian di jabat oleh beberapa guru di antaranya Alex L.L. Lapian, Noh Rembet, Rorimpandey dari Tompaso, dan terakhir menjelang datangnya Jepang adalah Nona Emma Ngantung.
            Semasa penjajahan Jepang sebenarnya keuangan Jemaat mendapat keringanan dengan adanya peraturan bahwa gaji guru-guru sekolah dibiayai oleh pemerintah sehingga kas Jemaat tidak lagi mensubsidi gaji guru. Tetapi penderitaan penduduk bukan main beratnya. Kerja paksa dan pajak atas ahasil pertanian sangat menekan penduduk. Bahkan batu pal (tonggak batu di pintu masuk halaman) serta pohon-pohon besar di pinggir jalan raya dirobohkan untuk diangkut ke Kalawiran menutup lobang-lobang bekas pemboman di lapangan terbang. H.G Rumondor dengan tekun membimbing, menghibur dan mengarahkan kawanan dombanya agar tidak ada yang tersesat lalu hilang. Diarahkanya agar dengan bijaksana menuruti kemauan penjajah, jangan melawan karena melawan berarti kepala dapat hilang sebab leher dipotong dengan pedang. Agar anak-anak tetap dapat bersekolah pada waktu terjadi pemboman-pemboman sekutu, tempat belajar dipindahan ke bawah pohon-pohon bamboo yang rindang di lembah sebelah barat desa (sebelah barat kantor jaga V sekarang). Tempat ibadah juga dipindahkan dari Gereja ke tempat tersebut. Sewaktu pemboman makin gencar rakyat menyingkir dari desa ke perkebunan. Guru jemaat mengadakan ibadah keliling di perkebunan-perkebunan tepat penyingkiran warga Jemaat guna memberikan ketabahan iman dan memohon perlindungan dari Tuhan. Tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah kalah kepada Sekutu dan beberapa waktu kemudia penduduk kembali ke rumah masing-masing. Ibadah pengucapan syukur atas berhentinya penderitaan karena peperangan di adakan pada tanggal 2 September 1945.
            Oleh pemerintah Jepang Sekolah Rakyat digabung dengan Sekolah Sambungan dan disebut Hutu Zyokyu Kogakko. Awalnya H.G Rumondor menjadi Kepala Sekolah, kemudian diganti oleh Mangowal dan terakhir L. Harold Warouw (Mantan Kepala Sekolah Belanda di Amurang). Pada Tahun 1946 kembali H.G. Rumondor ditunjuk sebagai Kepala Sekolah yang sudah bergabung dengan enam kelas. Ketabahan H.G Rumondor mendapat ujian ketika Benyamim Assa kembali dari Makale-Toraja. Assa yang sewaktu di Toraja sudah menjabat Kepala Sekolah Rakyat Pemerintahan (Gubernemen) dianggap lebih tinggi dari H.G Rumondor yang hanya menjabat Kepala Sekolah GMIM (Swasta). Karena itu Assa ditunjuk sebagai Kepala Sekolah. H.G. Rumondor dengan setia tetap bekerja sebagai guru walaupun bukan lagi sebagai Kepala Sekolah. Setelah Assa dipindahkan ke Kawangkoan pada tahun 1950 H.G. Rumondor kembali lagi pada jabatannya sebagai Kepala Sekolah di Kayuuwi yang pada waktu itu disebut Sekolah Rendah GMIM. Jabatan ini ditekuni sampai beliau mencapai usia pension sebagai pegawai negeri pada tahun 1961.
            Dengan keteladanannya dalam mengendalikan sekolah yang dipimpinnya HG. Rumondor dapat memotivasi guru-guru yang lain sehingga Sekolah Rendah GMIM Kayuuwi merupakan sebuah sekolah yang patut diacungi jempol pada sekitar dasawarsa lima puluhan. Dalam pertandingan olah raga antar sekolah menempati jenajng atas. Dalam kelulusan siswa kelas VI yang mengikuti ujian masuk sekolah lanjutan, SR GMIM kayuuwi menempati rangking di atas, sehingga sebagian murid kelas VI dari desa tetangga yang dipersiapkan mengikuti ujian mengambil pelajaran di Kayuuwi.
            Jasa H.G Romondor dalam membina anak-anak kayuuwi tidak terbatas hanya di sekolah saja. Beliau juga merupakan  Pembina dan pelayan anak-anak dalam Sekolah Minggu, hamper-hampir dapat disebut “Single fighter” atau pemeran tunggal sejak sekitar tahun 1930 sampai tahun tujuh puluhan. Sepanjang beliau tidak bertugas di luar Kayuuwi pada hari Mingu pasti beliau sudah berada di Gereja sebelum jam tujuh pagi menantikan kedatangan anak-anak. Baru pada waktu sudah terpilih Ketua Komisis Pelayanan Anak, baru beliau menyerahkan tanggung jawab pelayanan anak-anak Sekolah Minggu.
            Dalam menjalankan tugas pelayanannya di Jemaat Kayuuwi H.G Rumondor mendapat beberapa tugas tambahan seperti kewenangan melayani Tanda Tangan Ezran (Sakramen) terhitung mulai tanggal 15 April 1948. Sehari sebelumnya (14 April 1948) H.G Rumondor mendapat Surat Keputusan dari Residen Manado menjadi Pejabat Peneguh Nikah. Jabatan Peneguh Nikah ditarik kembali oleh Hukum Kedua Kawangkoan pada tanggal 20 September 1954, namun dipulihkan kembali oleh Bupati Minahasa terhitung dari tanggal 13 Desember 1957.
            Kepemimpinan H.G Rumondor dalam menjaga kawanan Dombanya agar  tidak tercerai berai mendapat ujian sesudah selesainya Perang Dunia 2. Pada tahun 1946 seorang Penatua yang ditugasi menangani Urusan Persekolah mengusulkan agar Sekolah Rakyat diserahkan saja kepada Pemerintah. Sinode mengirimkan Alex L. Lapian dari Majelis Persekolahan untuk member penjelasan sehingga akhirnya Majelis Jemaat memutuskan agar Sekolah Rakyat tetap dalam lingkungan GMIM. Penatua tersebut kecewa lalu keluar dari keanggotaan Jemaat dan pindah bersama keluarganya masuk menjadi umat khatolik di Kawangkoan. Dengan itu Gereja Katolik berupaya menarik warga Jemaat Kayuuwi dengan mengadakan kampanye (Semacam KKR) selama Satu minggu. Peserta dari jemaat GMIM yang menghadirinya diajak berdiskusi dan ternyata selalu “kalah”. Setelah mendapat laporan mengenai hal itu. H.G Rumondor mengambil keputusan untuk menghadiri kampanye tersebut pada tiga amalam terakhir. Suasany diskusi berbalik dikuasai oleh H.G Rumondor dan pemuda-pemuda yang menyertainya. Upaya Khatolik untuk menarik keluar sebagian Jemaat GMIM tidak berhasil.
            Kemudian pada tahun 1950 seorang ex KNIL asal Kayuuwi kembali ke desa dengan membawa agama Pantekosta yang sudah dianutnya selama dalam perantauan. Kampanye besar-besaran dari Pantekosta berlangsung di Kayuuwi dengan dihadiri banyak warga Pantekosta dari Desa-desa sekitar. Warga Jemaat Kayuuwi banyak yang tertarik untuk menonton keramaian, tetapi hanya satu yang tertarik untuk bergabung yaitu seorang saudara kandung dari pembawa Agama Pantekosta tersebut. Keesaan Jemaat Kayuuwi tetap kukuh dan utuh bersatu dalam GMIM. Sampai Sekarang lebih dari 99,5 persen penduduk Kayuuwi adalah Warga GMIM.
            Jemaat Kayuuwi mengalami suatu periode pergumulan berat yang berlangsung lama antara tahun 1954 sampai tahun 1966. Bagaikan bahtera yang mengarungi lautan luas, silih berganti topan mendera dari berbagai penjuru mata angin. GMIM dan hamper semua jemaatnya tidak terlalu terkena imbas perjuangan fisik Bangsa Indonesia dalam revolusi fisik mengusir penjajah dari bumi pertiwi. Tetapi memasuki pertengahn decade lima pulihan angin kencang mulai menderu. Dampak dari masa kampanye menjelang Pemilihan Umum tahun 1954 dan juga hasil Pemilihan itu sendiri membawa pergesekan-pergesekan dalam masyarakat dan jemaat. Sindiran dan perang urat syaraf berkecamuk diantara pengikut-pengikut partai tertentu, termasuk desa Kayuuwi. Namun dalam bimbingan H. G Rumondor Sebagai Guru Jemaat warga tetap tabah dan tidak terprovokasi…
Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar