“GEMBALA JEMAAT YANG
MENUNTUN DOMBA DENGAN PENUH KETABAHAN”
PDT. HENDRIK GERSON RUMONDOR (1906-1987)
H.
G. Rumondor juga tanggap membaca situasi yang berkembang dan siap melakukan
yang terbaik bagi warga Jemaat yang dibawah asuhannya. Belum dua minggu Jemaat
Kayuuwi melepaskan diri dari klasis tentara Jepang mendarat di Minahasa, pada
tanggal 11 Januari 1942. Ternyata bahwa Jepang juga mencampuri urusan
keagamaan. Ketua Sinode GMIM yang kedua yang menjabat sejak tahun 1941 adalah
juga Pendeta Belanda, yakni DS. G.P.H. Locher segera ditahan. Pdt. Albertus
Zakarius Runturambi Wenas mengambil alih pimpinan Sinode. Gereja Kristen di
Jepang mendatangkan beberapa Pendeta untur mengatur urusan agama Kristen namun
mereka juga harus tunduk pada pimpinan tentara. Situasi yang sukar dan sulit
mulai melanda masyarakat dan jemaat. Beberapa aturan yang ketat dikenakan
kepada orang yang datang beribadah ke Gereja. Di jemaat lain, misalnya di Bahu,
Jemaat yang sedang beribadah disuruh keluar dari Gereja dan langsung disuruh
berbaris menuju ke tempat kerja paksa. Maka demi ketentraman warga
Gereja/Jemaat seluruhnya Pdt. A.Z.R Wenas menghadap ke pimpinan tentara Jepang
meminta agar warga jemaat diberi kebebesan melaksanakan ibadah pada hari
Minggu. Serta nerta Jemaat Kayuuwi memutuskan untuk tetap sebagai anggota GMIM
dan kembali bergabung ke Klasis Sonder. Hal ini diwujudkan pada tanggal 26 Juni
1942.
Situasi yang sulit sebenarnya sudah
terasa sejak tahun 1932, khususnya dibidang keuagan Jemaat. Sudah disebutkan di
atas bahwa mulai bulan januari 1932 jemaat member subsidi untuk gaji guru
Sekolah Sambungan sebesar f. 15,- per bulan. Tak disangka malaise alias masa
melarat (‘maleset, dalam pengertian sekarang krisis ekonomi) melanda seluruh
dunia sejak tahun 1932. Perdagangan menjadi lesu, bahan-bahan hasil pertanian
dari desa pun merosot harganya. Namun jemaat Kayuuwi dalam pimpinan Guru
Jemaatnya tidak mengeluh atau berputus asa. Jemaat tetap pada komitmennya
membiayai Sekolah Sambungan, sehingga sekolah itu dapat bertahan. Kepala
Sekolah sambungan sejak kepindahan H.G Rumondor ke Sekolah Rakyat secara
bergantian di jabat oleh beberapa guru di antaranya Alex L.L. Lapian, Noh
Rembet, Rorimpandey dari Tompaso, dan terakhir menjelang datangnya Jepang
adalah Nona Emma Ngantung.
Semasa penjajahan Jepang sebenarnya
keuangan Jemaat mendapat keringanan dengan adanya peraturan bahwa gaji
guru-guru sekolah dibiayai oleh pemerintah sehingga kas Jemaat tidak lagi
mensubsidi gaji guru. Tetapi penderitaan penduduk bukan main beratnya. Kerja
paksa dan pajak atas ahasil pertanian sangat menekan penduduk. Bahkan batu pal
(tonggak batu di pintu masuk halaman) serta pohon-pohon besar di pinggir jalan
raya dirobohkan untuk diangkut ke Kalawiran menutup lobang-lobang bekas
pemboman di lapangan terbang. H.G Rumondor dengan tekun membimbing, menghibur
dan mengarahkan kawanan dombanya agar tidak ada yang tersesat lalu hilang.
Diarahkanya agar dengan bijaksana menuruti kemauan penjajah, jangan melawan
karena melawan berarti kepala dapat hilang sebab leher dipotong dengan pedang.
Agar anak-anak tetap dapat bersekolah pada waktu terjadi pemboman-pemboman
sekutu, tempat belajar dipindahan ke bawah pohon-pohon bamboo yang rindang di
lembah sebelah barat desa (sebelah barat kantor jaga V sekarang). Tempat ibadah
juga dipindahkan dari Gereja ke tempat tersebut. Sewaktu pemboman makin gencar
rakyat menyingkir dari desa ke perkebunan. Guru jemaat mengadakan ibadah
keliling di perkebunan-perkebunan tepat penyingkiran warga Jemaat guna
memberikan ketabahan iman dan memohon perlindungan dari Tuhan. Tanggal 15
Agustus 1945 Jepang menyerah kalah kepada Sekutu dan beberapa waktu kemudia
penduduk kembali ke rumah masing-masing. Ibadah pengucapan syukur atas
berhentinya penderitaan karena peperangan di adakan pada tanggal 2 September
1945.
Oleh pemerintah Jepang Sekolah
Rakyat digabung dengan Sekolah Sambungan dan disebut Hutu Zyokyu Kogakko.
Awalnya H.G Rumondor menjadi Kepala Sekolah, kemudian diganti oleh Mangowal dan
terakhir L. Harold Warouw (Mantan Kepala Sekolah Belanda di Amurang). Pada
Tahun 1946 kembali H.G. Rumondor ditunjuk sebagai Kepala Sekolah yang sudah
bergabung dengan enam kelas. Ketabahan H.G Rumondor mendapat ujian ketika
Benyamim Assa kembali dari Makale-Toraja. Assa yang sewaktu di Toraja sudah
menjabat Kepala Sekolah Rakyat Pemerintahan (Gubernemen) dianggap lebih tinggi
dari H.G Rumondor yang hanya menjabat Kepala Sekolah GMIM (Swasta). Karena itu
Assa ditunjuk sebagai Kepala Sekolah. H.G. Rumondor dengan setia tetap bekerja
sebagai guru walaupun bukan lagi sebagai Kepala Sekolah. Setelah Assa
dipindahkan ke Kawangkoan pada tahun 1950 H.G. Rumondor kembali lagi pada
jabatannya sebagai Kepala Sekolah di Kayuuwi yang pada waktu itu disebut
Sekolah Rendah GMIM. Jabatan ini ditekuni sampai beliau mencapai usia pension
sebagai pegawai negeri pada tahun 1961.
Dengan keteladanannya dalam
mengendalikan sekolah yang dipimpinnya HG. Rumondor dapat memotivasi guru-guru
yang lain sehingga Sekolah Rendah GMIM Kayuuwi merupakan sebuah sekolah yang
patut diacungi jempol pada sekitar dasawarsa lima puluhan. Dalam pertandingan
olah raga antar sekolah menempati jenajng atas. Dalam kelulusan siswa kelas VI
yang mengikuti ujian masuk sekolah lanjutan, SR GMIM kayuuwi menempati rangking
di atas, sehingga sebagian murid kelas VI dari desa tetangga yang dipersiapkan
mengikuti ujian mengambil pelajaran di Kayuuwi.
Jasa H.G Romondor dalam membina
anak-anak kayuuwi tidak terbatas hanya di sekolah saja. Beliau juga
merupakan Pembina dan pelayan anak-anak
dalam Sekolah Minggu, hamper-hampir dapat disebut “Single fighter” atau pemeran
tunggal sejak sekitar tahun 1930 sampai tahun tujuh puluhan. Sepanjang beliau
tidak bertugas di luar Kayuuwi pada hari Mingu pasti beliau sudah berada di
Gereja sebelum jam tujuh pagi menantikan kedatangan anak-anak. Baru pada waktu
sudah terpilih Ketua Komisis Pelayanan Anak, baru beliau menyerahkan tanggung
jawab pelayanan anak-anak Sekolah Minggu.
Dalam menjalankan tugas pelayanannya
di Jemaat Kayuuwi H.G Rumondor mendapat beberapa tugas tambahan seperti
kewenangan melayani Tanda Tangan Ezran (Sakramen) terhitung mulai tanggal 15
April 1948. Sehari sebelumnya (14 April 1948) H.G Rumondor mendapat Surat
Keputusan dari Residen Manado menjadi Pejabat Peneguh Nikah. Jabatan Peneguh
Nikah ditarik kembali oleh Hukum Kedua Kawangkoan pada tanggal 20 September
1954, namun dipulihkan kembali oleh Bupati Minahasa terhitung dari tanggal 13
Desember 1957.
Kepemimpinan H.G Rumondor dalam menjaga
kawanan Dombanya agar tidak tercerai
berai mendapat ujian sesudah selesainya Perang Dunia 2. Pada tahun 1946 seorang
Penatua yang ditugasi menangani Urusan Persekolah mengusulkan agar Sekolah
Rakyat diserahkan saja kepada Pemerintah. Sinode mengirimkan Alex L. Lapian
dari Majelis Persekolahan untuk member penjelasan sehingga akhirnya Majelis
Jemaat memutuskan agar Sekolah Rakyat tetap dalam lingkungan GMIM. Penatua
tersebut kecewa lalu keluar dari keanggotaan Jemaat dan pindah bersama
keluarganya masuk menjadi umat khatolik di Kawangkoan. Dengan itu Gereja Katolik
berupaya menarik warga Jemaat Kayuuwi dengan mengadakan kampanye (Semacam KKR)
selama Satu minggu. Peserta dari jemaat GMIM yang menghadirinya diajak
berdiskusi dan ternyata selalu “kalah”. Setelah mendapat laporan mengenai hal
itu. H.G Rumondor mengambil keputusan untuk menghadiri kampanye tersebut pada
tiga amalam terakhir. Suasany diskusi berbalik dikuasai oleh H.G Rumondor dan
pemuda-pemuda yang menyertainya. Upaya Khatolik untuk menarik keluar sebagian
Jemaat GMIM tidak berhasil.
Kemudian pada tahun 1950 seorang ex
KNIL asal Kayuuwi kembali ke desa dengan membawa agama Pantekosta yang sudah
dianutnya selama dalam perantauan. Kampanye besar-besaran dari Pantekosta
berlangsung di Kayuuwi dengan dihadiri banyak warga Pantekosta dari Desa-desa
sekitar. Warga Jemaat Kayuuwi banyak yang tertarik untuk menonton keramaian,
tetapi hanya satu yang tertarik untuk bergabung yaitu seorang saudara kandung
dari pembawa Agama Pantekosta tersebut. Keesaan Jemaat Kayuuwi tetap kukuh dan
utuh bersatu dalam GMIM. Sampai Sekarang lebih dari 99,5 persen penduduk
Kayuuwi adalah Warga GMIM.
Jemaat Kayuuwi mengalami suatu
periode pergumulan berat yang berlangsung lama antara tahun 1954 sampai tahun
1966. Bagaikan bahtera yang mengarungi lautan luas, silih berganti topan mendera
dari berbagai penjuru mata angin. GMIM dan hamper semua jemaatnya tidak terlalu
terkena imbas perjuangan fisik Bangsa Indonesia dalam revolusi fisik mengusir
penjajah dari bumi pertiwi. Tetapi memasuki pertengahn decade lima pulihan
angin kencang mulai menderu. Dampak dari masa kampanye menjelang Pemilihan Umum
tahun 1954 dan juga hasil Pemilihan itu sendiri membawa pergesekan-pergesekan
dalam masyarakat dan jemaat. Sindiran dan perang urat syaraf berkecamuk diantara
pengikut-pengikut partai tertentu, termasuk desa Kayuuwi. Namun dalam bimbingan
H. G Rumondor Sebagai Guru Jemaat warga tetap tabah dan tidak terprovokasi…
Bersambung…